Epilepsi pada Anak: Tanda Penyebab dan Cara Mengatasinya

foto/istimewa

sekilas.co – Kejang pada anak sering membuat orang tua khawatir, karena mereka khawatir anaknya menderita epilepsi. Namun, apakah setiap kejang pada anak memang berarti epilepsi?

Tidak semua anak yang mengalami kejang berulang menderita epilepsi. Penting untuk tidak mengabaikan kejang yang tidak terkontrol, karena keterlambatan diagnosis pada anak dengan epilepsi dapat memengaruhi tumbuh kembang serta kualitas hidup anak di masa depan.

Baca juga:

Sebelum seorang anak didiagnosis epilepsi, dokter anak perlu memastikan apakah yang dialami benar-benar kejang atau bukan. Diagnosis yang tepat dan penggunaan obat anti-kejang sesuai jenis kejang akan sangat membantu dalam penanganan anak dengan epilepsi.

Lalu, bagaimana cara membedakan antara kejang atau bukan?

Deteksi dini dan diagnosis yang tepat menjadi kunci untuk memberikan intervensi medis yang sesuai. Penanganan yang tepat memberikan kesempatan bagi anak untuk tumbuh sehat dan memiliki kualitas hidup yang baik.

Apa itu epilepsi?
Epilepsi adalah kondisi kejang yang terjadi berulang tanpa pemicu jelas, dengan jeda lebih dari 24 jam. Misalnya, seorang anak mengalami kejang tanpa demam (tanpa pemicu) hari ini, kemudian seminggu, sebulan, atau setahun kemudian kejang lagi tanpa pemicu, kondisi ini bisa disebut epilepsi.

Namun, perlu dipastikan terlebih dahulu apakah gerakan atau kondisi anak benar-benar kejang atau hanya mirip kejang. Orang tua dapat membantu dengan merekam video saat anak diduga kejang agar dokter anak lebih mudah memastikan.

Berbeda dengan kejang demam yang memiliki pemicu, epilepsi muncul tanpa tanda peringatan pada anak yang lebih kecil. Beberapa tipe epilepsi memang memiliki aura, yang muncul sebelum anak kejang.

Penyebab epilepsi yang perlu diwaspadai
Epilepsi dapat dipicu oleh berbagai faktor, baik yang terlihat sejak awal maupun yang tidak langsung tampak. Berikut beberapa penyebab yang perlu diperhatikan:

  1. Kelainan struktur otak bawaan: Gangguan bentuk atau fungsi otak yang sudah ada sejak lahir atau saat dalam kandungan dapat menjadi faktor risiko kejang di kemudian hari.

  2. Faktor genetik atau keturunan: Jika ada riwayat epilepsi atau kejang dalam keluarga, anak berisiko mewarisi kondisi yang sama. Meski tidak selalu tampak sejak lahir, faktor ini bisa berperan di masa depan.

  3. Kelainan akibat infeksi otak: Infeksi seperti meningitis, ensefalitis, atau abses otak dapat merusak jaringan otak dan menjadi faktor risiko epilepsi, termasuk sebagai gejala sisa setelah infeksi. Riwayat penyakit ini penting digali oleh orang tua.

  4. Hipoksia saat lahir: Kekurangan oksigen pada bayi baru lahir, misalnya jika bayi tidak menangis spontan, bisa merusak sel otak dan meningkatkan risiko timbulnya epilepsi di kemudian hari.

  5. Penyebab yang tidak diketahui (idiopatik): Kadang epilepsi muncul tanpa penyebab jelas. Walaupun pemeriksaan telah dilakukan, tidak ditemukan kelainan atau faktor risiko yang pasti.

Jenis-Jenis Epilepsi
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) 2017:

Tipe Kejang

  1. Berdasarkan tipe kejang (Seizure Types):

    • Epilepsi Fokal: Kejang berasal dari satu area di otak.

    • Epilepsi Generalisata: Kejang memengaruhi kedua sisi otak secara bersamaan.

    • Epilepsi dengan Tipe Tidak Diketahui (Unknown): Belum diketahui secara pasti apakah kejang bersifat fokal atau generalisata.

  2. Berdasarkan tipe epilepsi:

    • Epilepsi Fokal

    • Epilepsi Generalisata

    • Epilepsi Kombinasi Fokal dan Generalisata (Combined Generalized and Focal Epilepsy)

    • Epilepsi Tidak Diketahui (Unknown Epilepsy)

  3. Sindrom Epilepsi (Epilepsy Syndromes):
    Kelompok kondisi epilepsi yang memiliki ciri khas tertentu, termasuk pola usia, tipe kejang, dan penyebab spesifik.

  4. Etiologi Epilepsi:
    Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhi fungsi otak. Beberapa kategori penyebab (etiologi) yang telah diidentifikasi antara lain:

    • Structural: Akibat kelainan struktur otak.

    • Genetic: Disebabkan faktor genetik atau keturunan.

    • Infectious: Berkaitan dengan infeksi, seperti meningitis atau ensefalitis.

    • Metabolic: Gangguan metabolik sebagai pemicu kejang.

    • Immune: Berkaitan dengan gangguan sistem imun.

    • Unknown: Penyebab belum diketahui secara pasti.

Kriteria di atas diperbarui pada Agustus 2024 menjadi:

Hipoksia dan Kaitannya dengan Epilepsi
Bayi yang tidak langsung menangis saat lahir atau membutuhkan bantuan oksigen berisiko mengalami hipoksia. Kekurangan oksigen ini dapat merusak sel-sel otak dan menjadi faktor pemicu kejang di kemudian hari.

Hipoksia perinatal merupakan salah satu faktor risiko penting bagi gangguan perkembangan, termasuk epilepsi, cerebral palsy, atau keterlambatan perkembangan. Dampaknya bisa baru terlihat beberapa bulan setelah bayi lahir.

Pemantauan jangka panjang sangat dianjurkan, terutama saat bayi kontrol imunisasi atau diperiksa karena sakit, bagi bayi dengan riwayat hipoksia.

Kenali Risiko Epilepsi pada Bayi, Terutama dengan Riwayat Hipoksia
Epilepsi dapat muncul sejak bayi baru lahir, khususnya jika ada faktor risiko yang jelas. Deteksi epilepsi sejak dalam kandungan masih sulit dilakukan di Indonesia karena belum ada pemeriksaan rutin.

Di luar negeri pun, pemeriksaan genetik untuk deteksi dini epilepsi masih mahal dan jarang dilakukan. Artinya, sebagian besar kasus baru diketahui setelah muncul gejala. Dengan adanya faktor risiko, orang tua bisa lebih waspada apabila kemudian hari anak mengalami kejang.

Melihat kondisi ini, penting bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda kejang pada anak, terutama jika anak memiliki riwayat kondisi yang meningkatkan risiko kejang.

Cara Mendeteksi dan Memastikan Kejang sebagai Gejala Epilepsi pada Anak
Tanda awal epilepsi pada anak tidak selalu mudah dikenali, apalagi bagi yang belum pernah mengalami sebelumnya. Oleh karena itu, mengenali ciri kejang sejak awal sangat penting untuk langkah medis yang tepat:

  • Kejang terjadi tanpa pemicu dan berulang dengan jeda lebih dari 24 jam.

  • Pastikan benar-benar kejang, bukan sekadar menggigil atau gerakan refleks lain.

  • Disarankan merekam video saat anak kejang agar dokter dapat meninjaunya.

  • Pastikan video memperlihatkan tubuh anak secara penuh, tidak tertutup selimut atau orang lain.

Pengobatan Epilepsi Berdasarkan Jenis Kejang dan Berat Badan
Pengobatan epilepsi disesuaikan dengan jenis kejang yang dialami. Setiap tipe kejang membutuhkan pendekatan berbeda agar terapi bekerja efektif.

  1. Obat disesuaikan dengan jenis kejang dan berat badan
    Obat diberikan berdasarkan berat badan, bukan umur, umumnya diminum setiap 12 jam. Dosis yang tepat penting untuk menjaga kadar obat stabil di tubuh dan mencegah kejang.

  2. Terapi untuk mengontrol kejang agar sel otak tidak rusak
    Jika kejang tidak ditangani dengan baik, sel-sel otak bisa terganggu, memengaruhi fungsi otak jangka panjang. Oleh karena itu, penting mengikuti pengobatan sesuai anjuran dokter.

Pengobatan biasanya berlangsung hingga anak bebas kejang selama dua tahun. Setelah itu, kondisi anak akan dipantau untuk menentukan apakah terapi dapat dihentikan bertahap atau dilanjutkan.

Pemberian obat anti-kejang dimulai dengan dosis kecil, lalu ditingkatkan secara bertahap hingga dosis yang tepat tercapai dan anak tidak mengalami kejang. Jika dosis maksimal satu obat tidak efektif, dokter akan menambahkan obat anti-kejang lain.

Peran Orang Tua dalam Mengelola Epilepsi
Pengelolaan epilepsi tidak hanya bergantung pada pengobatan medis, tetapi juga dukungan orang tua dan lingkungan dekat seperti rumah, sekolah, dan tempat anak beraktivitas. Selain memberikan obat tepat waktu, orang tua perlu mencegah faktor pemicu, antara lain:

  • Demam

  • Kurang tidur atau begadang

  • Kelelahan fisik atau psikis

  • Dehidrasi atau kekurangan cairan

  • Perubahan suhu lingkungan ekstrem

  • Konsumsi cemilan terlalu manis atau coklat

  • Paparan cahaya berkedip-kedip, seperti kembang api atau layar gadget

Setelah mengenali gejala epilepsi pada anak, Bunda dan Ayah juga harus memahami penanganan kejang di rumah. Jika gejala berlanjut, segera bawa anak untuk mendapatkan perawatan medis.

Artikel Terkait