Panduan bagi Orang Tua Hadapi Anak dengan Risiko Alergi Makanan

foto/istimewa

Sekilas.co – Dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Endah Citraresmi, Sp.A, Subsp.A.Im(K), memberikan rekomendasi bagi orang tua yang memiliki anak dengan potensi alergi makanan.

Menurut dr. Endah, apabila anak menunjukkan gejala yang diduga dipicu oleh alergi makanan, sebaiknya orang tua segera menghentikan pemberian makanan tersebut.

Baca juga:

“Hentikan dulu bahan makanan yang dicurigai, lalu perhatikan gejalanya. Apakah membaik dengan sendirinya? Jika tidak membaik dan membutuhkan bantuan tenaga medis, segera bawa ke IGD. Jika terlambat ditangani, anak bisa menderita,” ujar dr. Endah dalam sebuah webinar pada Selasa.

Anak dengan alergi makanan biasanya menunjukkan gejala pada kulit, sistem pencernaan, maupun saluran pernapasan.

Terdapat dua jenis reaksi yang dapat muncul, yakni reaksi cepat yang biasanya terjadi dalam satu jam setelah terpapar makanan, dan reaksi lambat yang muncul lebih dari dua jam setelah paparan.

Beberapa reaksi cepat akibat alergi makanan umumnya berupa kulit kemerahan, rasa gatal, biduran (urtikaria), pembengkakan pada bibir atau kelopak mata (angioderma), muntah, nyeri perut, hingga anafilaksis.

Sementara itu, reaksi tipe lambat biasanya muncul dalam bentuk kulit kering disertai gatal dan kemerahan (dermatitis atopik), diare, BAB berdarah, muntah, nyeri perut, dan kondisi ini bisa berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Menurut dr. Endah, apabila gejala alergi makanan pada anak disertai dengan tanda lain seperti sesak napas, dehidrasi, dan penurunan kesadaran, maka anak harus segera dibawa ke IGD.

“Selain itu, jika anak tampak sangat terganggu atau gelisah, misalnya gatal-gatal sampai tidak bisa tidur, maka harus segera dibawa ke IGD atau konsultasi langsung ke dokter,” jelasnya.

Dokter yang juga tergabung dalam Bidang Ilmiah Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi Imunologi IDAI itu menambahkan, jika gejala membaik, orang tua sebaiknya membuat catatan khusus atau food diary.

Sebagai contoh, ketika orang tua mencurigai anak mengalami diare setelah mengonsumsi susu sapi, mereka dapat mencatat waktu maupun tanggal pemberian susu sapi tersebut, termasuk frekuensi BAB selama diare berlangsung.

Jika setelah penghentian konsumsi makanan yang dicurigai gejala anak membaik, hal itu juga perlu dicatat.

“Semua data tersebut harus dibawa dan dikonsultasikan ke dokter. Diskusi dengan dokter penting untuk memastikan diagnosis, karena bisa saja gejalanya bukan alergi makanan, melainkan akibat infeksi lain,” tutur dr. Endah.

Terkait alergi makanan, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mencatat bahwa pada 2020 terdapat sekitar 220 juta orang di dunia yang mengalaminya, termasuk anak anak yang menjadi kelompok rentan.

Dalam jurnal berjudul Food allergy in children—the current status and the way forward yang terbit pada 2022 disebutkan bahwa secara global sekitar 4 persen anak anak mengalami alergi makanan, dengan prevalensi yang terus meningkat dalam dua dekade terakhir.

Secara umum, beberapa bahan pangan yang sering menimbulkan alergi pada anak antara lain susu sapi, telur, kacang-kacangan, makanan laut bercangkang seperti kepiting, udang, lobster, ikan, serta gandum.

Alergi makanan pada anak dapat menimbulkan dampak signifikan, di antaranya stres dan kecemasan, penurunan kualitas hidup akibat pembatasan pola makan, malnutrisi karena terbatasnya pilihan makanan, hingga mengancam jiwa jika reaksi berat tidak ditangani dengan baik.

Artikel Terkait